TANJIDOR secara perlahan mulai tergusur dari kancah hiburan rakyat di
Bekasi. Terjepit diantara organ tunggal, dangdut, jaipong dan band pop. Mulai
ditinggalkan karena dianggap usang dan merepotkan. Tidak lagi ditampilkan dalam
kegiatan seremonial pemerintah daerah. Hanya sesekali tampil pada saat bulan
syawal pada saat lebaran dan musim hajatan pernikahan, itupun sudah mulai
langka. Atau waktu tahun imlek.
Tanjidor adalah hasil penyerdehanaan orang-orang pribumi terhadap musik orang-orang eropa pada saat masih berkuasa di Indonesia pada abad ke 17. Pada masa awal perkembangannya, Tanjidor adalah hiburan para kaum bangsawan Eropa dan tuan tanah. Kehadirannya berbarengan dengan musik keroncong dan Cokek.
Tanjidor memiliki beberapa instrumen alat musik yang didominasi oleh alat musik tiup, seperti suling (klarinet), trompet bas, trompet tenor, trompet trombon, trompet piston, genjreng (simbal), beduk, dredek (tambur) dan Nining (panil).
Menurut Ane Matahari, seniman Bekasi, musik Tanjidor jika didengarkan secara seksama, secara pentatonis lebih dekat dengan Cina dan mendapat sentuhan unsur Eropa. Tapi sudah mendapat sentuhan pribumi sehingga judul-judul lagunya pun menggunakan nama Betawi. Seperti Mars Jin Berfikir dan Mars Sepotong, Mars Batalion dan Mars Kramton. Seperti Cokek dan orkestra Eropa namun bercitra rasa lokal.
”Tanjidor dulu selalu dipentaskan untuk menghibur para bangsawan Belanda dan tuan tanah yang mayoritas beretnis Cina,” terang Ane.
Namun, Bekasi sudah berubah. Era kejayaan Tanjidor sudah mulai meredup. Mereka harus berhadapan dengan musik generasi kekinian yang berisi lagu-lagu populer yang mudah dilafalkan tapi cepat juga dilupakan. Lagu-lagu wajib Tanjidor seperti, Jali-jali, Kembang Kacang, Kang Haji, kini harus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Tanjidor sekarang tidak lagi melulu memainkan lagu-lagu Betawi, tapi sesekali juga mengadopsi pop atau dangdut berirama melayu campur sunda. Juga sudah mulai memakai gendang, gong, gitar bahkan organ. Meski menjadi agak aneh kedengarannya.
”Saya termasuk orang yang tidak sepakat jika Tanjidor melakukan modifikasi mengikuti perkembangan zaman. Tanjidor harus tetap orisinil, karena disitulah nilai seninya,” ujar pria berambut gondrong tersebut.
Tanjidor di Bekasi, tidak jauh berbeda dengan Tanjidor di Jakarta dan Tanggerang. Hanya dialek bahasanya saja yang berbeda. Menurut musisi yang bergiat di DKB (Dewan Kesenian Bekasi) tersebut, kelompok Tanjidor di Bekasi masih banyak. Diantaranya Kelompok Kacrit di Jati Mulya dan Tanjidor Proyek di daerah Teluk Buyung.
”Hampir semua sanggar topeng, biasanya juga memiliki grup Tanjidor,” ujar Ane yang mengaku pernah berkolaborasi dengan beberapa kelompok Tanjidor.
Tantangan yang dihadapi oleh Tanjidor adalah regenasi. Minimnya minat generasi muda untuk belajar Tanjidor adalah salah satu penyebab kenapa kesenian ini diambang kepunahan. Bahkan anak-anak pemain Tanjidor sendiri sudah tidak mau meneruskan keahlian orang tua mereka. Padahal dulu, menguasai alat musik Tanjidor merupakan sebuah kebanggan tersendiri.
”Para pemain Tanjidor rata-rata sudah berumur, dan mereka mengeluhkan tentang regenarasi. Karena tidak ada penerus, mereka yang sudah berusia tua-tua tersebut tetap berjuang sendiri, kadang saya tidak tega melihatnya” kata Ane.
Selain masalah regenasi, kendala lainnya adalah terkait dengan peremajaan alat yang tergolong sangat mahal. Bahkan mencapai jutaan rupiah. Sementara, penghasilan para pemain Tanjidor tidak menentu. Menurut Ane, seniman Tanjidor orang-orang yang terjepit dan berjuang dalam keterbatasan.
Ane berharap agar Pemda segera melakukan tindakan untuk melestarikan kesenian tradisi lokal ini. Dan merangsang minat generasi muda untuk belajar kesenian Tanjidor. Hal ini, kata Ane, bisa dilakukan dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah untuk dijadikan muatan lokal. Sebab jika tidak ada upaya pelestarian, dikhawatirkan Tanjidor akan mati seperti banyak kesenian Bekasi lainnya, seperti Ujungan, Wayang Dungdung, dan Wayang Bekasi.
Tanjidor adalah hasil penyerdehanaan orang-orang pribumi terhadap musik orang-orang eropa pada saat masih berkuasa di Indonesia pada abad ke 17. Pada masa awal perkembangannya, Tanjidor adalah hiburan para kaum bangsawan Eropa dan tuan tanah. Kehadirannya berbarengan dengan musik keroncong dan Cokek.
Tanjidor memiliki beberapa instrumen alat musik yang didominasi oleh alat musik tiup, seperti suling (klarinet), trompet bas, trompet tenor, trompet trombon, trompet piston, genjreng (simbal), beduk, dredek (tambur) dan Nining (panil).
Menurut Ane Matahari, seniman Bekasi, musik Tanjidor jika didengarkan secara seksama, secara pentatonis lebih dekat dengan Cina dan mendapat sentuhan unsur Eropa. Tapi sudah mendapat sentuhan pribumi sehingga judul-judul lagunya pun menggunakan nama Betawi. Seperti Mars Jin Berfikir dan Mars Sepotong, Mars Batalion dan Mars Kramton. Seperti Cokek dan orkestra Eropa namun bercitra rasa lokal.
”Tanjidor dulu selalu dipentaskan untuk menghibur para bangsawan Belanda dan tuan tanah yang mayoritas beretnis Cina,” terang Ane.
Namun, Bekasi sudah berubah. Era kejayaan Tanjidor sudah mulai meredup. Mereka harus berhadapan dengan musik generasi kekinian yang berisi lagu-lagu populer yang mudah dilafalkan tapi cepat juga dilupakan. Lagu-lagu wajib Tanjidor seperti, Jali-jali, Kembang Kacang, Kang Haji, kini harus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Tanjidor sekarang tidak lagi melulu memainkan lagu-lagu Betawi, tapi sesekali juga mengadopsi pop atau dangdut berirama melayu campur sunda. Juga sudah mulai memakai gendang, gong, gitar bahkan organ. Meski menjadi agak aneh kedengarannya.
”Saya termasuk orang yang tidak sepakat jika Tanjidor melakukan modifikasi mengikuti perkembangan zaman. Tanjidor harus tetap orisinil, karena disitulah nilai seninya,” ujar pria berambut gondrong tersebut.
Tanjidor di Bekasi, tidak jauh berbeda dengan Tanjidor di Jakarta dan Tanggerang. Hanya dialek bahasanya saja yang berbeda. Menurut musisi yang bergiat di DKB (Dewan Kesenian Bekasi) tersebut, kelompok Tanjidor di Bekasi masih banyak. Diantaranya Kelompok Kacrit di Jati Mulya dan Tanjidor Proyek di daerah Teluk Buyung.
”Hampir semua sanggar topeng, biasanya juga memiliki grup Tanjidor,” ujar Ane yang mengaku pernah berkolaborasi dengan beberapa kelompok Tanjidor.
Tantangan yang dihadapi oleh Tanjidor adalah regenasi. Minimnya minat generasi muda untuk belajar Tanjidor adalah salah satu penyebab kenapa kesenian ini diambang kepunahan. Bahkan anak-anak pemain Tanjidor sendiri sudah tidak mau meneruskan keahlian orang tua mereka. Padahal dulu, menguasai alat musik Tanjidor merupakan sebuah kebanggan tersendiri.
”Para pemain Tanjidor rata-rata sudah berumur, dan mereka mengeluhkan tentang regenarasi. Karena tidak ada penerus, mereka yang sudah berusia tua-tua tersebut tetap berjuang sendiri, kadang saya tidak tega melihatnya” kata Ane.
Selain masalah regenasi, kendala lainnya adalah terkait dengan peremajaan alat yang tergolong sangat mahal. Bahkan mencapai jutaan rupiah. Sementara, penghasilan para pemain Tanjidor tidak menentu. Menurut Ane, seniman Tanjidor orang-orang yang terjepit dan berjuang dalam keterbatasan.
Ane berharap agar Pemda segera melakukan tindakan untuk melestarikan kesenian tradisi lokal ini. Dan merangsang minat generasi muda untuk belajar kesenian Tanjidor. Hal ini, kata Ane, bisa dilakukan dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah untuk dijadikan muatan lokal. Sebab jika tidak ada upaya pelestarian, dikhawatirkan Tanjidor akan mati seperti banyak kesenian Bekasi lainnya, seperti Ujungan, Wayang Dungdung, dan Wayang Bekasi.