Tak mudah untuk mengenali kesenian
Ujungan ini. Karena selain sudah sangat sulit menemukannya dipertontonkan, tak
banyak pula literatur yang menceritakan detail bagaimana kesenia ini muncul dan
eksis di masyarakat Kabupaten Bekasi, kemudian menghilang nyaris tanpa jejak.
Tulisan Andi Sopandi, dalam buku ‘Sejarah dan Budaya Kota Bekasi’ menuliskan, permainan ujungan seolah tenggelam bersama pesatnya pembangunan di Bekasi. Bahkan tak terdengar lagi alunan sempyong dan tarian ucul (tarian yang dilakukan sebelum mulainya permainan ujungan).
Hasil wawancara Andi dengan H M Husein Kamaly, tokoh budaya Bekasi, Kata ujungan berasal dari Bahasa Sunda, Jung yang berarti dari lutut ke bawah. Kata ini berkembang menjadi ujung yang artinya masih sama, yaitu kaki.
Beberapa tokoh ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata ujung (bongkot-dalam bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki. Ujungan kaki dalam hal ini adalah jari-jari kaki, terutama ibu jari yang rawan terhadap pukulan ujung rotan.
Dalam bahasa Melayu, ujung berarti lawan kata dari ‘pangkal’ atau ‘garutan’ yang menonjol ke laut. Pengertian kata ‘ujung’ dalam bahasa Melayu kemudian mempengaruhi kata-kata dalam bahasa Sunda. Dalam bahasa Melayu kata ‘ujung’ berkembang dan kemudian menjadi kata yang umum digunakan dalam permainan ujungan.
Dalam permainan ujungan ini, yang harus diperhatikan dan dipertahankan adalah menjaga agar ujung kaki jangan terkena ujung rotan. Ujung kaki dalam konteks ini adalah jari-jari kaki, terutama ibu jari kaki, karena dapat terluka berat bila terkena pukulan penjug istilah dalam permainan ujungan. Dengan demikian, ada dua hal yang menarik dalam permainan ujungan itu adalah Ujung Rotan dan Ujung Kaki.
Singkatnya, ujungan seperti beladiri pada umumnya, sebuah pertarungan dua jawara, namun masing-masing melengkapinya dengan tongkat sepanjang 30 cm. Pukulan tongkat diarahkan hanya pada bagian kaki dibawah lulut.
Ujungan biasanya ditampilkan untuk merayakan pesta panen. Oleh karenanya, pertarungan dilakuakn di tengah sawah yang sudah dipanen. Pertarungan diiringi dengan musik samyong. Sang penantang atau disebut Ucul, mulanya menari mencari lawan. Seperti pertandingan pada umumnya, dalam Ujungan pun ada wasit yang disebut Boboto.
Andi Sopandi menulis, dalam kesenian Ujungan, aspek magis kerap mewarnai pertarungan jawara. Bentuknya bisa berbentuk azimat yang dibelitkan dipinggang atau bentuk ritual lain seperti mengusap atau meniup rotan sambil melafalkan doa dan mantra-mantra.
Untuk memperoleh kesaktian, biasanya seorang jawara harus memenuhi berbagai persyaratan yang cukup berat, seperti berpuasa, menjauhi istri, bertapa atau merendam ,diri pada malam hai (’ah).
Salah satu petarung Ujungan, Kasir, mengaku prihatin kini kesenian Ujungan tak lagi muncul. Dia berharap pemerintah turun tangan melestarikannya.
Kepala Desa Srijaya, Drahim Sada, bahkan mulai menggaungkan agar Ujungan bisa menjadi cabang olahraga.
Kata Drahim pada event Porda XII yang akan dilaksanakan di Kabupaten Bekasi 2014 mendatang, sebaiknya Pemkab Bekasi menjadikannya sebagai momen memunculkan kembali kesenian Ujungan. ”Pada Porda XII, ketika Kabupaten Bekasi menjadi tuan rumah, sebaiknya, wacana menjadikan Ujungan menjadi cabang olahraga diusulkan,” kata pria berkepala plontos ini.
Drahim, sendiri, kini berupaya melestarikan kesenian Ujungan dengan selalu menampilkannya dalam peringatan HUT RI tanggal 17 Agustus.
Tulisan Andi Sopandi, dalam buku ‘Sejarah dan Budaya Kota Bekasi’ menuliskan, permainan ujungan seolah tenggelam bersama pesatnya pembangunan di Bekasi. Bahkan tak terdengar lagi alunan sempyong dan tarian ucul (tarian yang dilakukan sebelum mulainya permainan ujungan).
Hasil wawancara Andi dengan H M Husein Kamaly, tokoh budaya Bekasi, Kata ujungan berasal dari Bahasa Sunda, Jung yang berarti dari lutut ke bawah. Kata ini berkembang menjadi ujung yang artinya masih sama, yaitu kaki.
Beberapa tokoh ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata ujung (bongkot-dalam bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki. Ujungan kaki dalam hal ini adalah jari-jari kaki, terutama ibu jari yang rawan terhadap pukulan ujung rotan.
Dalam bahasa Melayu, ujung berarti lawan kata dari ‘pangkal’ atau ‘garutan’ yang menonjol ke laut. Pengertian kata ‘ujung’ dalam bahasa Melayu kemudian mempengaruhi kata-kata dalam bahasa Sunda. Dalam bahasa Melayu kata ‘ujung’ berkembang dan kemudian menjadi kata yang umum digunakan dalam permainan ujungan.
Dalam permainan ujungan ini, yang harus diperhatikan dan dipertahankan adalah menjaga agar ujung kaki jangan terkena ujung rotan. Ujung kaki dalam konteks ini adalah jari-jari kaki, terutama ibu jari kaki, karena dapat terluka berat bila terkena pukulan penjug istilah dalam permainan ujungan. Dengan demikian, ada dua hal yang menarik dalam permainan ujungan itu adalah Ujung Rotan dan Ujung Kaki.
Singkatnya, ujungan seperti beladiri pada umumnya, sebuah pertarungan dua jawara, namun masing-masing melengkapinya dengan tongkat sepanjang 30 cm. Pukulan tongkat diarahkan hanya pada bagian kaki dibawah lulut.
Ujungan biasanya ditampilkan untuk merayakan pesta panen. Oleh karenanya, pertarungan dilakuakn di tengah sawah yang sudah dipanen. Pertarungan diiringi dengan musik samyong. Sang penantang atau disebut Ucul, mulanya menari mencari lawan. Seperti pertandingan pada umumnya, dalam Ujungan pun ada wasit yang disebut Boboto.
Andi Sopandi menulis, dalam kesenian Ujungan, aspek magis kerap mewarnai pertarungan jawara. Bentuknya bisa berbentuk azimat yang dibelitkan dipinggang atau bentuk ritual lain seperti mengusap atau meniup rotan sambil melafalkan doa dan mantra-mantra.
Untuk memperoleh kesaktian, biasanya seorang jawara harus memenuhi berbagai persyaratan yang cukup berat, seperti berpuasa, menjauhi istri, bertapa atau merendam ,diri pada malam hai (’ah).
Salah satu petarung Ujungan, Kasir, mengaku prihatin kini kesenian Ujungan tak lagi muncul. Dia berharap pemerintah turun tangan melestarikannya.
Kepala Desa Srijaya, Drahim Sada, bahkan mulai menggaungkan agar Ujungan bisa menjadi cabang olahraga.
Kata Drahim pada event Porda XII yang akan dilaksanakan di Kabupaten Bekasi 2014 mendatang, sebaiknya Pemkab Bekasi menjadikannya sebagai momen memunculkan kembali kesenian Ujungan. ”Pada Porda XII, ketika Kabupaten Bekasi menjadi tuan rumah, sebaiknya, wacana menjadikan Ujungan menjadi cabang olahraga diusulkan,” kata pria berkepala plontos ini.
Drahim, sendiri, kini berupaya melestarikan kesenian Ujungan dengan selalu menampilkannya dalam peringatan HUT RI tanggal 17 Agustus.